PENAFSIRAN TENTANG AYAT PRNSIP BEBRBISNIS

Posted: Oktober 20, 2011 in Uncategorized

1.                  Surat Al-Baqarah Ayat 168 – 169

$yg•ƒr’¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB ’Îû ÇÚö‘F{$# Wx»n=ym $Y7Íh‹sÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø‹¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Ar߉tã îûüÎ7•B ÇÊÏÑÈ $yJ¯RÎ) Nä.ããBù’tƒ Ïäþq¡9$$Î/ Ïä!$t±ósxÿø9$#ur br&ur (#qä9qà)s? ’n?tã «!$# $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÊÏÒÈ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:168) ” Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. 2:169)[1]

 

Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa’sa’ah, Khuza’ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya di dalam al-Quran.[2]

Tafsir Ayat:

Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa manusia harus mencari makanan yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang baik meskipun halal. Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun halal tetapi tidaklah baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan atau karena segan-menyegan. Karena segan diberikan orang juga, padahal hatinya merasa tertekan. Atau bergabung keduanya, yaitu tidak halal dan tidak baik; yaitu harta dicuri, atau seumpamanya. Ada juga umpama yang lain dari harta yang tidak baik; yaitu menjual azimat kepada murid, ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai akan terlepas dari marabahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah membayar harga, meskipun tidak najis namun itu adalah penghasilan yang tidak baik.[3]

Supaya lebih kita ketahui betapa besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka tersebutlah dalam suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mardawaihi daripada Ibnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang dihadapan Nabi SAW, yaitu ayat: ”Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Allah, supaya dikabulkan oleh Allah. Maka berkatalah Rasulullah SAW : ”Wahai Sa’ad ! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya.”

Artinya, lebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa juka dibandingkan dengan apai neraka. Biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram.

Penting sekali peringatan ini, kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubunganya dengan perut asal berisi. Berapa perbuatan curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut. Maka apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya.[4]

Kemudian diperingatkan pula pada lanjutan surat Al-Baqarah ayat 169 supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan. Dia akan mengajarkan berbagai tipu daya, mengicuh dan asal perut berisi, tidaklah peduli dari mana saja sumbernya. Syaitan akan bersedia menjadi pokrol mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat. Keinginan syaitan ialah bahwa engkau jatuh, jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik. Dengan demikian rusaklah hidupmu.

Golongan Ayat:

  1. Ayat-ayat di atas kalu dilihat dari segi Makki dan Madani, ayat tersebut termasuk dalam kategori “Madanyyah”.
  2. Jika dilihat dari segi Muhkam dan Mutasyabih maka ayat ini termasuk dalam kategori ayat “Muhkam”.
  3. Jikan dilihat dari segi munasabah, maka dapat disimpulkan bahwa ayat di atas memiliki keterkaitan.
  1. 2.         Surat An-Nisa’ Ayat 29

$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù’s? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.4 : 29)[5]

 

Tafsir Ayat :

Ayat ini telah memberitakan keterangan yang jelas tentang kedatangan Rasul-rasul, atau Utusan-utusan Allah ke dunia ini. Dalam ayat ini kita kaum muslimin sudah mendapat keterangan bahwa Rasul itu bukan satu, melainkan banyak, sebab itu disebut Rasul-rasul. Kedatangan beliau-beliau ke dunia diutus Allah untuk membawakan penjelasan bagi manusia untuk keselamatan hidup mereka di dunia dan akhirat.[6] Manusia bisa saja memandang dengan akalnya bahwa memang ada Maha Kuasa yang mencipta alam, tetapi kalau tidak ada Rasul dari Allah sendiri, akan kacau balaulah pengertian manusia tentang Allah. Bersama Rasul-rasul itu selain diberi tugas memberikan penjelasan berbagai rupa, ada juga yang dengan mu’jizat, dan Allah juga menurunkan kepada mereka kitab-kitab. Sebagai Taurat untuk Musa, Injil untuk Isa, Al-Qur’an untuk Muhammad SAW dan beberapa Shuhuf untuk Ibrahim dan Nabi yang lain.

Setelah Allah menurunkan kitab kepada Rasul-rasul itu, Allah pun sekaligus menurunkan kepada mereka al-Miizaan, yaitu alat penimbang. Tentu saja dalam ayat ini yang dimaksudkan dengan alat penimbang bukanlah semacam neraca yang dikirim dari surga atau alam ghaib, melainkan kearifan dan kebijaksanaan Nabi-nabi itu sendiri. Sebab sesudah itu nyata sekali Allah berfirman: ”Supaya berdirilah manusia dengan keadilan.” jangan berbuat sewenang-wenang saja menjatuhkan suatu hukum. ”Dan Kami turunkan besi, di dalamnya ada kekuatan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia.”[7]

Di dalam simpulan ayat ini kita sudah dapat memahamkan bahwa pada hakikatnya, datangnya Rasul-rasul diutus Allah, selain daripada diberi wahyu dengan kitab-kitab suci, mereka juga diberi kewajiban memberikan pertimbangan. Tegasnya kebijaksanaan dalam memimpin umatnya. Sesudah itu dijelaskan lagi bahwa Allah pun bukan saja menurunkan kitab atau pertimbangan atau timbangan untuk menegakkan keadilan bahkan juga diberi besi. Dalam ayat ditegaskan kegunaan besi itu. Pertama karena di dalamnya ada persenjataan. Maka dapat difahamkan bahwa kedatangan Rasul-rasul itu bukan saja hendak mengejar-ngejar orang saja agar tunduk kepada Allah, tetapi wajib patuh, wajib tunduk. Barangsiapa yang melawan undang-undang Allah, bisa dihukum. Besi adalah untuk menguatkan hukum. Selain jadi senjata ada pula banyak manfaatnya yang lain. Sampai kepada zaman modern kita sekarang ini disebut bahwa suatu negara hendaklah mempunyai alat-alat besar. Dan alat-alat besar itu terdiri dari besi. Untuk kapal, untuk kereta api, untuk jembatan dan untuk seribu satu keperluan lain. Inilah yang disebut teknologi. Sebab itu dengan tegas pula dalam ayat ini dijelaskan bahwa suatu agama mestilah disokong dengan kekuasaan, atau pemerintahan. ”Dan supaya dibuktikan Allah barangsiapa yang menolongNya dan Rasul-rasukNya, dengan cara sembunyi.” Cara sembunyi itu ditafsirkan oleh Ibnu Abbas ialah dengan hati yang ikhlas, tidak usah gembar-gembur. Disebut di ujung ayat ini bahwa orang yang hendak membela tegaknya agama Allah, kadang-kadang terpaksa dengan sembunyi-sembunyi, dengan ghaib, karena hebatnya tantangan dari pihak musuh. Tetapi Allah tetap dalam Kebesaran dan KekuatanNya; ”Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Kuat, Maha Perkasa.” Maka dengan segala tenaga yang ada pada kita, kita pun wajib bekerja, berusaha menegakkan Kalimat Allah itu, membela Kebenaran Allah, walaupun satu waktu kita terpaksa melakukan dengan sembunyi, karena di samping kekuatan kita yang tidak seberapa, adalah Kekuatan Allah dan Kegagah-perkasaanNya, itulah yang berlaku.

Ayat ini menguraikan bahwa tujuan Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab suci dan neraca adalah agar manusia menegakkan keadilan dan hidup dalam satu masyarakat yang adil.[8]

Golongan Ayat:

  1. Kalau ayat ini dilihat dari segi Maki dan madani, maka ayat ini tergolong dalam kategori “Madaniyyah”.
  2. Kalau dilihat dari segi Muhkam dan Mutasyabih, maka ayat di atas termasuk dalam kategori “Muhkam”, karena ayat ini sudah dapat dipahami dengan jelas.
  3. Jika ayat di atas dilihat dari segi munasabah, ayat tersebut memiliki keterkaitan dengan ayat setelahnya.
  1. 3.    Surat Al-Hadid ayat 25:

ô‰s)s9 $uZù=y™ö‘r& $oYn=ߙ①ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9t“Rr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#u”ÏJø9$#ur tPqà)u‹Ï9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9t“Rr&ur y‰ƒÏ‰ptø:$# ÏmŠÏù Ó¨ù’t/ ӉƒÏ‰x© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èu‹Ï9ur ª!$# `tB ¼çnçŽÝÇZtƒ ¼ã&s#ߙâ‘ur Í=ø‹tóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;“Èqs% ֓ƒÌ“tã ÇËÎÈ

“Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. 57:25)[9]

Tafsir Ayat:

Ayat di atas menguraikan bahwa tujuan Allah mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab Suci dan neraca Adalah agar manusia menegakkan keadilan dan hidup dalam satu masyarakat adil. Allah juga menciptakan besi antara lain untuk dijadikan alat penegakkan keadilan berdampingkan dengan infak dalam melaksanakan jihad di jalan Allah swt. ayat di atas juga dapat dipahami sebagai nasehat kepada mereka yang selama ini belum bersungguh-sungguh menggunakan anugrah Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Allah memberi mereka kemampuan untuk berinfaq, maka seharusnya mereka berinfaq. Allah mengutus Nabi-nabi untuk ditaati, maka sepatutnya mereka menyambut baik tuntunannya, dan Allah menciptakan besi agar digunakan menghadapi para pembangkang.[10]

 

Golongan Ayat:

  1. Kalau ayat ini dilihat dari segi Maki dan madani, maka ayat ini tergolong dalam kategori “Madaniyyah”.
  2. Kalau dilihat dari segi Muhkam dan Mutasyabih, maka ayat di atas termasuk dalam kategori “Muhkam”, karena ayat ini sudah dapat dipahami dengan jelas.
  3. Jika ayat di atas dilihat dari segi munasabah, ayat tersebut memiliki keterkaitan dengan ayat setelahnya.
  1. 4.    Surat Al-Ma’idah Ayat 2:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤¶9$# tP#tptø:$# Ÿwur y“ô‰olù;$# Ÿwur y‰Í´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§‘ $ZRºuqôÊ͑ur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs† ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r‘‰|¹ Ç`tã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#r߉tG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang al-hadya dan al-qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5 : 2)[11]

Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul:

Ayat ini turun karena pada saat itu bangsa Arab tempo dulu memiliki semboyan yang populer yaitu ”Tolonglah saudaramu, baik ia menganiaya maupun dianiaya.”[12] Semboyan ini sudah menjadi simbol kebanggaan jahiliah dan fanatisme kebangsaan. Tolong-menolonglah di dalam perbuatan dosa dan pelanggaran lebih dekat dan lebih kuat daripada tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka juga biasa mengadakan janji setia untuk bantu-membantu di dalam kebathilan demi menghadapi kebenaran. Jarang terjadi di kalangan jahiliah yang mengadakan janji setia untuk membela kebenaran.

Begitulah tabiat lingkungan masyarakat yang tidak berhubungan dengan Allah. Yakni, masyarakat yang tradisi dan akhlaknya tidak berpijak pada manhaj Allah dan timbangan-Nya. Semua itu mencerminkan semboyan jahiliah yang tekenal itu. Sampai akhirnya islam datang dan turunlah ayat ini. Islam datang untuk mengeluarkan bangsa arab dan semua manusia dari kebanggaan jahiliah dan fanatisme golongan. Juga untuk menekan perasaan dan emosi pribadi, keluarga, dan golongan di dalam lapangan pergaulan dengan kawan dan lawan.[13]

 

Tafsir Ayat :

Makna ’syiar-syiar Allah’ yang paling dekat dengan pikiran ketika membaca ayat ini adalah syiar-syiar haji dan umrah dengan segala sesuatu yang diharamkan atas orang yang sedang melakukan ihram haji dan umrah hingga hajinya selesai dengan menyembelih kurban yang dibawa ke Baitul Haram. Maka, semua itu tidak halal bagi orang yang sedang ihram, karena menghalalkannya pada waktu itu berarti menghina syiar Allah yang telah mensyariatkannya. Dinisbatkannya syiar-syiar ini oleh Al-Qur’an kepada Allah adalah untuk menunjukkan kegaungannya dan sebagai larangan dari menghalalkannya.[14]

Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan haram adalah bulan Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram. Allah telah mengharamkan berperang pada bulan-bulan ini. Bangsa Arab sebelum islam pun mengharamkannya, tetapi mereka mempermainkannya sesuai kehendak hawa nafsunya.

Al-hadyu adalah binatang kurban yang dibawa oleh orang-orang yang menunaikan haji atau umrah. Dengan demikian berakhirlah syiar-syiar haji atau umrahnya. Al-hadyu adalah unta, sapi, atau kambing.

Al-qalaa’id adalah binatang-binatang ternak yang dikalungi oleh pemiliknya pada lehernya sebagai pertanda bahwa binatang tersebut telah dinazarkan untuk Allah, dan dilepaskan merumput dengan bebas hingga disembelih pada waktu dan tempat nazar.

Allah juga mengharamkan mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah untuk mencari karunia dan keridhaanNya. Mereka adalah orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram untuk melakukan perdagangan yang halal dan mencari keridhaan Allah dengan melakukan haji atau lainnya. Allah memberikan keamanan kepada mereka di Baitul Haram-Nya. Kemudian dihalalkanlah berburu setelah habis masa ihram, di luar Baitul Haram, sedangkan berburu di Baitul Haram tetap tidak diperbolehkan. Ini adalah kawasan keamanan yang ditetapkan Allah di Baitul Haram-Nya, sebagaimana Dia telah menetapkan masa-masa aman pada bulan-bulan haram. Ini adalah kawasan yang di sana manusia, binatang, burung-burung, dan pepohonan merasa aman dari gangguan, dan dipelihara dari pelanggaran-pelanggaran. Ini adalah kedamaian mutlak yang berkibar di rumah suci ini, sebagai pengabulan doa Nabi Ibrahim, dan berkibar di segala penjuru bumi selama empat bulan penuh dalam setahun di bawah naungan islam. Ini adalah keselamatan dan kedamaian yang dapat dirasakan hati manusia dengan manis, tenang, dan aman, agar hal ini diminati manusia dengan syarat-syaratnya. Juga agar mereka memelihara akad dan perjanjiannya dengan Allah, dan supaya mereka menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupannya sepanjang tahun dan di semua lokasi.[15]

Inilah puncak pengendalian jiwa dan toleransi hati. Ini merupakan puncak yang harus didaki dan dicapai oleh umat yang ditugasi Allah untuk memimpin manusia dan mendidik kemanusiaan untuk mendaki ke ufuk kemuliaan yang cemerlang.

Inilah tanggung jawab kepemimpinan dan kesaksian atas manusia. Tanggung jawab yang menuntut orang-orang yang beriman untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan melupakan deritanya sendiri untuk maju ke depan menjadi teladan di dalam mengaktualisasikan islam di dalam perilakunya., dan untuk bersikap yang luhur sebagaimana diciptakan oleh islam. Dengan demikian, mereka menjadi saksi yang baik bagi islam di dalam mengekspresikan dan mengaplikasikannya. Sehingga, akan menarik dan menjadikan hati manusia cinta kepada islam.

Ini merupakan tugas besar, tetapi di dalam bentuknya ini tidaklah memberatkan jiwa manusia, tidak memberinya beban melebihi kemampuannya. Islam mengakui bahwa jiwa manusia itu berhak untuk marah dan tidak suka. Akan tetapi, ia tidak berhak untuk berbuat aniaya pada waktu marah dan pada waktu terdorong rasa kebencian. Kemudian islam menetapkan agar orang yang beriman tolong-menolong dan bantu-membantu dalam berbuat kebaikan dan ketakwaan saja, tidak boleh bantu-membantu dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Al-Qur’an menakut-nakuti jiwa manusia terhadap adzab Allah dan menyuruhnya bertakwa kepadaNya, agar dengan perasaan-perasaan seperti ini dia dapat menahan kemarahan dan taat aturan, berperangai luhur dan toleran, takwa kepada Allah, dan mencari ridhaNya.[16]

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an tentang prinsip berekonomi yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 168-169, An-Nisa’ ayat 29, Al-Hadid ayat 25 dan Al-Ma’idah ayat 2 yang telah dijelaskan diatas tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut perspektif Islam, ada beberapa prinsip dalam sistem ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

  1. 1.      Asas Saling Menguntungkan. Seperti telah dijelaskan pada tafsir Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168 dan 169, setiap akad yang dilakukan oleh pihak yang satu dengan pihak yang lainnya harus bersifat menguntungkan semua pihak yang berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Tidak merugikan dan mengeksploitasi manusia dalam berbagai bentuk bidang usaha. Prinsip ini dimaksudkan supaya para pelaku ekonomi dalam berusaha bergerak dalam batas-batas yang ditentukan syari’at. Penipuan (gharar), manipulasi, dan kecurangan-kecurangan, serta penimbunan barang oleh pedagang (ihtikar) tidak mewarnai aktifitas ekonomi. Dengan demikian setiap pihak merasakan ketenteraman berusaha dan menjamin kemaslahatan bersama.
  2. 2.      Asas Manfaat. Asas ini juga dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 168. Maksudnya ialah bahwa akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak berkenaan dengan hal-hal (obyek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat/mafsadat seperti jual beli benda-benda yang diharamkan dan/atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi yang membahayakan. Baik cara memperoleh input, pengolahannya dan outputya harus terbukti halal. Karena pada dasarnya seluruh yang baik itu dihalalkan, sedangkan yang akan merusak dan kotor-kotor diharamkan. Perdagangan minuman keras, babi, obat-obat terlarang dan yang sejenisnya seyogyanya dijauhi dan dihindari.
  3. 3.      Asas Suka Sama Suka. Berdasarkan penjelasan tafsir Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29, kita menyimpulkan bahwa kegiatan mu’amalah atau ekonomi dapat dilakukan didasarkan atas adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Asas suka sama suka untuk melakukan kegiatan bisnis atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini yang dapat menimbulkan kerugian masing-masing. Islam adalah syari’at yang benar-benar menghormati hak kepemilikan umatnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memakan atau menggunakan harta saudaranya kecuali bila sudaranya benar-benar merelakannya, baik melalui perniagaan atau lainnya. Asas kerelaan (‘an taradhin minkum) dalam mu’amalah sangat penting. Keabsahan suatu aktifitas mu’amalah turut dipengaruhi oleh aspek ini. Sesungguhnya implementasi ijab-qabul mencuat dalam penerapan prinsip ini.
  4. 4.      Asas Keadilan. Keadilan merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al-Qur’an dalam surat Al-Hadid ayat 25 sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah, termasuk penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Allah, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumber daya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
  5. 5.      Asas Tolong Menolong. Prinsip tersebut dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Ma’idah ayat 2 yang memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam melakukan aktivitas ekonomi pun dianjurkan untuk memegang asas tolong menolong ini. Dengan menanamkan terus asas tersebut dalam aktivitas ekonomi, maka kita telah membangun kemitraan dan solidaritas kita terhadap sesama. Akan terus terpupuk rasa persaudaraan dalam setiap aktivitas ekonomi yang kita lakukan dengan orang lain. Sebagai contoh, dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).

Seluruh aktifitas ekonomi didasarkan pada konfirmasi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pada prinsipnya, segala sesuatu yang ditolerir sudah pasti mengandung kemaslahatan. Apabila muatan atau indikator kemaslahatan (al-mashlahah) ada dalam bidang mu’amalah, maka itulah sebenarnya yang dituju oleh hukum syara’, karena Islam disyari’atkan memang untuk kemaslahatan manusia secara universal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.

Golongan Ayat:

  1. Kalau ayat ini dilihat dari segi Maki dan madani, maka ayat ini tergolong dalam kategori “Madaniyyah”.
  2. Kalau dilihat dari segi Muhkam dan Mutasyabih, maka ayat di atas termasuk dalam kategori “Muhkam”, karena ayat ini sudah dapat dipahami dengan jelas.
  3. Jika ayat di atas dilihat dari segi munasabah, ayat tersebut memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya.

BAB III

PENUTUP

  1. A.     Simpulan

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an tentang prinsip berekonomi yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 168-169, An-Nisa’ ayat 29, Al-Hadid ayat 25 dan Al-Ma’idah ayat 2 yang telah dijelaskan diatas tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut perspektif Islam, ada beberapa prinsip dalam sistem ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Asas saling menguntungkan
  2. Asas manfaat
  3. Asas suka sama suka
  4. Asas keadilan
  5. Asas tolong-menolong.
  1. B.     Saran

Penulis sadar, bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maragi, Ahmad Mustafa, 1993. Tafsir Al-Maragi juz II. Cetakan ke-2. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz II. Jakarta; Panjimas

Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz V. Jakarta; Panjimas

Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz IIIXXX. Jakarta; Panjimas

Katsier, Ibn, 2003, Tafsir Ibnu Katsier Jilid 2, Surabaya; PT. Bina Ilmu.

Shihab, M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 5. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 3. Jakarta: Lentera Hati.

Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Agung.

Shaleh, K.H.Q. dan H.A.A. Dahlan. 2009. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Tirunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Bandung: CV Penerbit Diponegoto.


[1] Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Agung. h. 32.

[2] Shaleh, K.H.Q. dan H.A.A. Dahlan. 2009. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Tirunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Bandung: CV Penerbit Diponegoto.

[3] H. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. 2002. Terjemah Singkaat Tafsir Ibnu Katsir Jilid: 1. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

[4] H. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. 2002. Terjemah Singkaat Tafsir Ibnu Katsir Jilid: 1. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

[5] Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Agung. h. 107.

[6] Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz V. Jakarta; Panjimas

[7] Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz V. Jakarta; Panjimas

[8] Hamka, 2002, Tafsir Al-Azhar Juz V. Jakarta; Panjimas

[9] Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Agung. h. 789.

[10] Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsil Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol: 14. Jakarta: Lantera Hati. h. 46-47.

[11] Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Agung. h. 141.

[12] Shaleh, K.H.Q. dan H.A.A. Dahlan. 2009. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Tirunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Bandung: CV Penerbit Diponegoto.

[13] Shaleh, K.H.Q. dan H.A.A. Dahlan. 2009. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Tirunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Bandung: CV Penerbit Diponegoto.

[14] Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsil Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol: 3. Jakarta: Lantera Hati. h. 10.

[15] Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsil Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol: 3. Jakarta: Lantera Hati. h. 11.

[16] Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsil Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol: 3. Jakarta: Lantera Hati. h. 13.

by : Muchamad Abd Azisluby

iain sunan ampel

Tinggalkan komentar